Sejak akhir abad ke 19perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakansangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari350 persen (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahanbasah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannyasebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagipenyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi lahan menjadilahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagidalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada padaketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggibarada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000)
Lahankering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah,lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahandengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknyapengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangatditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau daribentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan keringrelatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hinnga saatini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secaraberkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawahdataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahankering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untukmenghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yangbermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan danperbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasiakan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Dinegara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan iniumumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkansecara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunankekayaan hayati yang berat (Scherr, 2003).
la
III. Upaya Pengelolaan
Pengelolaanagrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaanekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati arealdimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengantujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakansebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya.Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan keringmerupakan bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat denganagroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan agroekosistem lahan keringmerupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan dalam mengubah ataumemodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat yangmaksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas yangdiusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaatekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutanpengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upayamemperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan(renewable resourses) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahankering untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungandan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.
1. Konservasi
Salahsatu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah denganmenerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatanilahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranyadapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karenaadanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar,dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapatmenciptakan kondisi iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman
Jika kamu ingin mencari jawaban lainya, kamu bisa membuka beberapa postingan yang mungkin akan kamu butuhkan ketika menemui soal soal yang kamu kerjakan.